Minggu, 30 November 2014
tanpa warna
kau datang tanpa sapa dan begitupun kala pergi selalu tanpa pesan. kau ajakku terbang, lalu dihempaskan,terbang,dihempaskan ah sampai pada akhirnya aku menyadari kau akan datang saat kehendakmu ingin menuntutku. ketika kehendak itu sudah kubayar penuh, tanpa ucapan kau berlalu bagai angin, selalu saja begitu. keabu-abuan menyamarkan warnamu. semu. tak ada lagi yang menarik, tak ada lagi alasan yang membenarkan logika untuk memilihmu. maaf aku tak bisa terlalu lama menunggu luka, biarkan aku sendiri tanpa warna
Jumat, 15 Agustus 2014
buat 10 september
BarakAllah, Happy Milad yang ke 20 ya mas. Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik buat kamu. Semoga Allah selalu menjadikanmu yang terbaik dalam apapun yang kamu kerjakan. Semoga lebih dewasa, lebih bijak, lebih berhati-hati dalam bersikap, lebih sabar, lebih bisa membedakan mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang, lebih istiqomah, lebih bisa membanggakan orangtua dan keluarga, lebih sukses dalam studinya, dan semuanya nova harap akan menjadi lebih baik di hari jadi yang ke 20 ini. semoga angka 20 ini menjadi pintu gerbang untuk membuka kesuksesan dalam kehidupan kamu mas. Perjalanan kamu masih panjang, bahkan masih sangat panjang, terus berlari mas, kejar apapun yang kamu inginkan karena nova percaya kesuksesan sudah ada di depan mata kamu,tinggal bagaimana usaha kamu untuk meraihnya. jangan pernah mengecewakan orangtua, karena tidak ada satupun alasan yang membenarkan kamu ketika kamu mengecewakan hati mereka. singkirkan sikap egois kamu ketika pilihan kamu berbeda dengan pilihan mereka. ingat, ridho Allah terhadap hidup kamu selamanya akan ada pada mereka. anak lelaki yang hebat, akan memberikan kenyamanan dihari tua bahkan saat tangan dan kaki mereka tak bisa melakukan apa-apa. kamu sudah ada dijalan yang benar mas, sudah memilih yang benar, dan nova berdoa semoga kamu adalah orang yang tetap memegang komitmen ketika lelaki seusia kamu lebih sibuk menebar pesona pada anak gadis orang. semangat belajar ya mas pitong, semoga cumlaude ^_____^
lelah mas :')
kau tau merindui itu rasanya seperti apa? seperti ada sesuatu yang tersumbat ditenggorokan. kepergian ini, bukan karena aku tak sanggup atau terlalu bosan menungguimu. aku ingin kau mengerti! itu sebabnya aku memilih menarik diriku dan bersembunyi dibalik topeng angkuh seorang wanita.kapan kau memilih untuk memahamiku? untuk menyetiakan hatimu pada seorang wanita yang rela menjadikan dirinya sebagai hamba untuk manusia sepertimu. mas... kapan mas mau nengok? kapan mas bisa liat aku? berkali-kali mas nyakitin aku, tapi gak pernah sedetikpun aku ngelupain kamu mas. mas inget gak waktu aku ke Bandung, aku tidur lalu kamu nyelimutin aku, mas cium kening aku. mas rela tidur dilantai biar aku bisa ngerasain gimana nyenyaknya tidur diatas ranjang. gak bisa dibayangin mas gimana dinginnya udara bandung yang malem itu lagi hujan. aku gak pernah lupa loh mas. mas inget gak pertama kali kita jalan, mas pegang tangan aku yang kedinginan, kita hujan-hujanan diatas motor keliling kota malem-malem. mas yang hampir tiap hari selalu jemput aku sepulang sekolah dan gak pernah peduli itu hujan atau panas. apa mas juga inget? pas aku ulangtahun mas ngasih sureprize malem-malem, mas kasih aku boneka kodok yang mas berinama Yogi. mas yang selalu nurutin kemauan aku, mas yang selalu jadi superhero aku, mas yang selalu manjain aku, mas yang selalu... ah aku pada akhirnya kehabisan kata-kata untuk mendefinisikan betapa manisnya moment itu. mas... mas sekarang kemana? kenapa mas pergi ninggalin aku? apa mas gatau kalo aku disini tiap hari nangisin kamu mas? karena ketidaksempurnaan kamu yang ngebuat aku jatuuh cinta mas
Senja yang Sempurna (ʃƪ˘ﻬ˘) ♡
Sebuah senja yang sempurna
dibentangkan di langit. Senja itu kupesan khusus untuk perempuan yang sudah
setahun tidak kutemui, perempuan yang telah bertahun-tahun lamanya mencintaiku.
Senja itu persis seperti yang disukai perempuan itu, dengan langit berawan
tebal yang tersayat-sayat, menyemburkan dari balik lukanya, warna merah yang
melebihi merahnya darah, melebihi kentalnya getir, melebihi geloranya cinta. Senja
itu dilengkapi kepingan matahari merah berbentuk hati yang tepiannya bergerigi,
tidak megah dan pongah. Hanya matahari kebanyakan yang membiarkan langit
memilih menggenakan selimut kelabunya dan tak memaksa menyeruakkan warna-warna
ke atasnya. Senja itu adalah kami. Aku sang langit, dia matahari. Begitu
perempuan itu pernah berkata dulu.
Bersama senja itu aku memesan meja untuk berdua, ditemani
sepotong laut dan suara ombak yang bagi perempuan itu teramat melankolis,
bentangan pasir putih dengan dua pasang jejak kaki diatasnya membingkai. Aku
sungguh ingin menjadikan saat ini sempurna, sebab aku tahu sudah terlalu lama
aku membiarkan perempuan itu menanti cintaku, terlalu lama membiarkannya
percaya bahwa tak pernah ada yang tumbuh dalam hatiku, bahwa apa pun yang
dilakukannya padaku atas nama cinta tak pernah bermakna apa-apa. Ini saat yang
tepat untuk membayar penantian perempuan itu, menebus harapannya yang kerap
pupus oleh kesinisan dan ketidak pedulianku, melunasi hutang-hutang perasaanku
kepadanya, mengenyahkan kepedihan yang telah lama memudarkan cahaya di
binar-binar matanya.
Sekali lagi aku membaca waktu di pergelangan tanganku. Lima
menit selepas janji pertemuan kami pukul 20.00. Aku ingat petugas yang melayani
reservasiku mengatakan harga untuk sebuah langit barat berwarna merah lengkap
dengan kepingan matahari terbenamnya pada pukul 20.00 sangatlah mahal, namun
aku sama sekali tidak keberatan. Tak ada yang terlalu mahal bagi perempuan itu.
Lagi pula, sekarang, berapa pun akan kubayar untuk menjadikan saat ini
sempurna, sebab kinilah aku akan menyempurnakan penantian perempuan itu dan
menjadikan impiannya kenyataan. Sekaranglah aku akan melahirkan dengan
kata-kata setiap keping perasaanku baginya, hingga setiap percik keraguan yang
mungkin pernah hadir dalam hatinya mati dan ia kembali menjadi perempuan yang
utuh. Utuh, sempurna, seperti senja yang kupesan baginya.
Aku bertemu perempuan itu selewat 5 tahnu yang lalu, di
sebuah kota kecil yang dilalui jalur kereta api. Aku laki-laki tertutup, dan
perempuan itu bukanlah perempuan yang kucari. Kehangatannya terlampau membuat
risih, dan ia selalu menantangku untuk berpikir sekaligus merasa, menyeretku
mengupas setiap lapis kebenaran hingga tidak menemukan apa-apa lagi di
baliknya. Kebenaran, meskipun itu berarti ketiadaan, sepertinya tidak pernah
membuatnya takut, tapi aku berbeda; aku sangat takut pada ketiadaan. Itu
sebabnya aku lebih senang tidak mengorek dan mencari, lebih suka menutupi
segalanya dan membiarkan kerak-kerak kehidupan mengeras hingga menciptakan
lapisan tebal yang membungkus hatiku.
Yang jelas, sejak awal aku tak pernah mengundangnya,
apalagi membiarkannya masuk. Ia seperti orang yang melintas di depan jendelaku,
terkadang cuma lewat, terkadang melambai dan menyapa, terkadang berhenti
sebentar dan mengobrol. Aku meladeninya dengan ogah-ogahan, penuh prasangka.
Aku lebih sering tidak membuka jendelaku, dan kalaupun membukanya, tanganku
selalu siap menutupnya kembali, tidak pernah sungguh-sungguh mementangnya. Tapi
sepertinya ia tak pernah memperhatikan semua itu. Ia datang sebagai dirinya
sendiri, sarat warna, penuh kehidupan, tidak terusik. Ia membiarkan jarak
mematut diri di antara kami, membiarkan aku sekehendak hati mengulur jarak itu
dia anatara kami. Sepertinya ia paham betul, hanya dengan begitulah ia bisa
mencegahku membangun tembok yang lebih tebal dan tidak membiarkannya masuk.
Hanya dengan jarak itulah ia dapat meraihku, tidak terlalu dekat, tidak terlalu
rapat, selalu berantara, dan bagiku artinya aman.
Mula-mula, kusangka ia perempuan yang pintar. Ahli siasat,
kurasa. Ia tahu persis kapan harus meraihku, dan kapan harus membiarkanku
pergi. Perlahan namun pasti ia hadir sebagai perempuan yang mampu mengimbangi
jiwaku yang rumit dan berjarak. Aku mengawasinya berusaha mengenali dengan
sabar setiap relung gelap di dalam hatiku, tak pernah memilih pergi meskipun
kerap aku mencoba mengusirnya dengan sikap dinginku. Aku mengawasinya berusaha
bertahan menghadapi setiap luapan amarahku yang pahit, yang kerap merusak
kebahagiaan dalam hatinya, mengejek setiap maafnya yang terulur bagiku. Semakin
ia bertahan di sisiku semakin aku ingin terus menyakitinya, memberontaki setiap
daun cinta yang dimilikinya bagiku. Ya, ya, aku tahu ia mencintaiku dengan
teramat sangat, dan bagiku itu tolol. Sangat tolol. Dan tentu saja, bohong. Aku
tidak percaya cinta. Aku tidak percaya ada perempuan yang bisa mencintaiku.
Termasuk perempuan ini. tak ada perempuan yang bakal tahan selamanya menghadapi
tembok-tembok yang kuhancur-bangunkan terus-menerus di sekelilingku, tak ada
perempuan yang bakal tahan terhadap kebebasan mutlak yang kucecar, tak ada
perempuan yang bakal sanggup mencintai tanpa ingin memiliki. Aku? Aku sangat
tidak ingin dimiliki. Aku tidak ingin dimiliki oleh siapapun; aku tidak ingin
dimiliki lalu dibuang setelah pemiliknya merasa bosan.
Namun toh perempuan itu bertahan. Seperti apa pun upayaku
membuatnya menyerah, ia bertahan. Bila aku menantangnya dengan menunjukkan
kebrengsekanku, paling-paling ia hanya tertawa, atau mungkin sekali-sekali
menangis juga dibelakangku bila aku sudah kelewatan. Entahlah, tapi yang terang
selalu dan selalu ada, ia menemukan cara untuk menyelami setiap ketakutan
lelakiku. Kemudian, selalu dan selalu terjadi, dibiarkannya aku memeluk
kebebasanku sepuasku, tak pernah ia mencoba merampasnya dariku.
Hingga pada suatu sore, ia mengatakan padaku, bahwa aku
telah mencintainya. Sungguh lancang memang, dan sungguh bodoh. Ia, perempuan
yang selama ini kuanggap pintar, ternyata sama saja dengan perempuan lainnya:
menganggap aku bisa bertekuk lutut di depannya. Terlalu sombong. Aku
memandangnya dengan tatapan melecehkan, dan ia, seperti biasa, hanya tertawa
dan menepuk-nepuk tanganku.
“Tenanglah, itu bukan berarti kiamat.”
Aku diam saja, terlalu marah dan tersinggung untuk
mengatakan sesuatu.
Ia membaca semua isyarat itu di mataku, lalu membuang muka
dan menatap langit.
“Sudah berapa tahun kita saling kenal begini? Lima?”
Aku masih membisu.
Ia menghela napas dalam-dalam. “Lima tahun. Waktu yang
panjang untuk sampai ke titik ini, bukan begitu? Aku mencintaimu. Apakah kamu
mencintaiku? Sedikit saja? Apakah cintaku belum juga bisa mengenyahkan
ketakutan di hatimu dan membuatmu percaya bahwa kamu akan baik-baik saja?
Apakah cintaku belum juga bisa membuatmu yakin bahwa aku tidak akan pergi
meninggalkanmu?
Aku tidak menjawab. Kali ini kubiarkan ia bercakap-cakap
sendiri. Aku masih sibuk membangun amarah, dan tembok, dan jarak, dan
keberingasan emosi yang entah mengapa, semakin sulit dibangkitkan.
“Coba lihat senja ini… bukahkah sempurna, menurutmu? Begitu
jelas menggambarkan diri kita -kamu dan aku-. Bentangan langit yang kelabu tebal
itu seperti dirimu, muram dan tertutup, begitu tebal dengan tembok-tembok yang
kamu biarkan melindungimu dari luka dan kesedihan. Tapi kamu lupa, tembok-tembok
itu memang telah melindungimu, tapi mereka juga memisahkanmu dari hidup dan
kebahagiaan. Dari cinta, dari aku…”
Ia mendesah. “Aku ini cuma matahari sekarat yang jauh dari
sempurna. Bertahun-tahun aku berusaha menembus awan tebal yang menjadi tembokmu
dan menyeruakkan sinar-sinarku yang paling lembut dan paling tidak menyilaukan
ke baliknya, dan aku tahu aku berhasil. Aku berhasil mengetahui apa yang kamu
sembunyikan di balik sana, aku mengerti seperti apakah wajahmu yang
sesungguhnya…” Ia tersenyum samar, tapi kemudian senyumnya redup. ”Hanya saja,
aku lupa, memang kamu memang tidak ingin dimengerti, tidak ingin diraih, tidak
ingin dikenal. Mungkin kamu memang memilih untuk tidak dicintai. Dan sungguh
tolol terus berkeras bertahan di sini dan menyaksikanmu menghapus warna-warna
kehidupan dari wajahku sendiri.”
Ia menarik napas dalam-dalam. “Aku sangat mencintaimu,
percayalah dan aku takkan pernah meninggalkanmu, asal saja kamu mau memintaku
tinggal. Aku butuh sedikit saja pertanda bahwa kamu mencintaiku, bahwa cintaku
memiliku sedikit saja makna bagimu…” Ia menatapku lekat-lekat, namun aku tak
sudi memandangnya. Aku sibuk menyergah, menyangkal, dan berperang dengan diriku
sendiri. Aku tidak pernah belajar membaca harapan di mata dan hatinya, sehingga
tidak mengenalinya.
“Baiklah. Tidak ada gunanya bagiku untuk tinggal lebih
lama. Aku akan pergi. Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa begini terus…” Dan
ia pun berlari mengiris hujan yang sekonyong mengguyur pergi senja itu.
Namun kepergiannya merupakan jenis yang menyisahkan
penyesalan. Dan kesadaran bahwa ada sesuatu yang hilang. Kepergiannya membuatku
akhirnya mengakui bahwa aku juga memiliki cinta baginya, bahwa aku tidak
sanggup hidup tanpa dirinya, bahwa aku akan belajar meruntuhkan tembok mana
pun, menghapus jarak selebar apa pun, dan percaya pada cintanya. Cintanya
kepadaku.
Tapi pada dasarnya aku ini memang lelaki pengecut.
Kesadaran itu tidak begitu saja membuatku mencarinya. Aku masih harus memunguti
keberanian di antara hari-hari yang datang-pergi usai kepergiannya. Aku masih
menunda waktu untuk merangkainya, sementara rindu semakin sering muncul
seling-menyeling dengan kesendirian yang senyap. Setahun lamanya aku menanti
hingga keberanianku akhirnya tenak, dan ketika suatu hari bekalku cukup, aku
pun menelepon dan mengajaknya bertemu.
Dari suaranya, aku tahu ia sama senangnya denganku
mengetahui rencana pertemuan ini. Dari suaranya, aku mengenali kerinduannya
bagiku. Dari suaranya, aku mendapati ia masih mencintaiku. Dari suaranya, aku
tahu menyediakan senja ini baginya merupakan langkah yang tepat, senja yang
dengan sempurna menggambarkan aku dan dia, senja yang…
“Maaf, aku terlambat.” Suaranya menyentakku, membuatku
bergegas berdiri menyambutnya. Aku mengenali wajahnya, wajah perempuan yang
penuh cinta yang serta-merta menyemikan kuncup-kuncup harapan di dalam dadaku.
Ia tertawa dengan bibir dan matanya, binar-binar di sana menggoda jantungku
agar berdegup lebih cepat lagi.
Ia duduk.
Aku duduk.
Ia mengulurkan tangannya dan menyentuhku lembut, senyum tak
surut dari wajahnya. “Apa kabar?” suaranya hangat.
“Baik, baik. Kamu?”
“Tak bisa lebih baik.” Ia mengedarkan pandang. “Tempat ini
indah sekali.”
Sambil menahan napas aku menunggu ia memuji senja sempurna
yang kupesan untuknya. Tapi pujian itu tidak muncul di bibirnya. Atau mengintip
di matanya yang mengilat senang. Ia bahkan seperti tidak menyadari keberadaan
senja yang telah menyihir tempat ini.
“Aku memesan senja ini khusus untukmu.”
“Oh ya?” sekali lagi ia mengedarkan pandang dan
manggut-manggut.
“Senjamu. Senja kita..”
“Indah, indah..” Kata-katanya tanpa makna.
Aku menatapnya. Apakah ia masih marah padaku? Apakah ia
masih menyimpan kekecewaan itu dalam hatinya? “Aku… ada yang ingin kusampaikan
padamu…”
Ia menatapku, senyum masih saja mewarnai wajahnya. “Aku
juga.” Nadanya sehangat matahari barat yang kukenal.
Jantungku tambah berdegup kencang. “Kalau begitu, kamu
dulu…” Hatiku membangun gedung-gedung yang mencakar-cakar langit harapanku.
“Aku jatuh cinta pada hujan,” bisiknya. “Hujan tebal yang
luruh rapat hingga tidak menyisakan pandangan, yang membuatmu takut berlari
menembusnya, takut di seberang sana tak
ada apa-apa yang menantimu. Takut kamu tidak akan pernah berhasil mencapai
tepiannya dan terperangkap di tengah sengatan airnya yang menusuk kulit dan
membutakan mata.”
Ia tersenyum, tangannya menggenggam jemariku begitu erat.
“Dan kamulah yang membuatku jatuh cinta pada hujan itu. Selalu kamu. Selalu
kamu..” Tatapannya pelan-pelan melembut.
Aku benar-benar tidak kuat lagi, bisa-bisa aku kena
serangan jantung ditatap seperti itu. Tapi sungguh, aku tidak mengerti maksud
perkataannya. Aku sudah memesan senja yang sempurna baginya, tapi dia malah
bicara tentang hujan tanpa sedikit pun melirik senja mahal yang sudah khusus
dibentangkan baginya di langit barat pada pukul 20.00 ini. Tiba-tiba saja aku
merasa konyol. Salah strategi. Tolol.
“Tapi aku sudah memesan senja ini untukmu. Kalau begitu aku
minta maaf. Aku sama sekali tidak tahu kamu sudah tidak menyukai senja. Kamu
sekarang menyukai hujan…”
“Dan semuanya karena kamu..” katanya manja.
“Kok bisa?” Aku masih juga tidak mengerti. Darahku terus
berdesir-desir melihat wajah perempuan di hadapanku ini. Wajah perempuan yang
sedang jatuh cinta.
“Ya bisa dong. Kamu punya pengaruh yang besar dalam
hidupku. Sejak dulu…” Ia menatapku dalam-dalam, suaranya setengah menerawang.
Aku benar-benar tidak tahan lagi. Bergegas kualihkan mataku
seraya menelan air liur. “Bagaimana aku bisa membuatmu jatuh cinta pada hujan?”
tanyaku parau.
Perempuan itu tertawa renyah. Ribuan bintang bermain-main
di bola matanya. Menggodaku.
“Kamu ingat pertengkaran terakhir kita sebelum aku pergi
dulu? Setahun yang lalu?”
Ucapan perempuan ini membuat kelima indraku bangun dan
beramai-ramai mengendus kegetiran di balik suaranya. Nihil. Aku menghela napas
lega, lalu mengangguk pelan.
“Hujan turun deras sekali. Di luar, dan di dalam sini,” ia
menunjuk dadanya. “Berhari-hari tebal, rapat, menusuk, dibungkus kabut yang
membuatku buta. Entah berapa lama aku menunggu hujan itu berhenti. Aku menunggu
dan menunggu, setiap hari hujan itu semakin tebal mengimbangi ketakutanku
sendiri.
“Meninggalkanmu bukanlah sesuatu yang mudah, kamu tahu?
Lima tahun lamanya aku membangun harapanku dengan mata, pikiran, telinga dan
hati yang terbuka. Lima tahun lamanya aku menciptakan senja kita, tahu benar
apa saja yang membuatnya sempurna. Betapa mudahnya berjalan ketika hati boleh
mengandalkan segenap indra dan pikiran…” Ia tersenyum. “Seperti itulah rasanya
berjalan dengamu, begitu mudah, begitu jelas, begitu dapat ditebak… Tapi toh,
tidak selamanya semua yang mudah, yang jelas, dan bisa ditebak itu pasti sama
hasilnya dengan perkiraan kita, ya kan? Setidaknya tidak dengan hubungan kita, dan
itulah yang membuatku hancur, dan kehabisan nyali.
“Aku tidak percaya lagi pada instingku. Aku tidak percaya
lagi pada kekuatanku. Aku tidak percaya lagi pada hatiku. Apalagi cintaku.
Sebab nyatanya cintaku tidak berarti apa-apa.. Lalu hujan itu datang, begitu
tebal seperti ketakutanku, begitu pekat seperti kesedihanku, begitu tak berarti
seperti keputusasaanku…
“Aku takut, sangat takut… Mana mungkin aku sanggup menembus
hujan, sedang matahari pun tak bisa memateraikan kepastian, ya kan?” Ia
menatapku lekat-lekat. “Hingga suatu hari aku memberanikan diri berlari
menembusnya. Aku tidak peduli lagi. Aku tak peduli bila terperangkap di
dalamnya. Aku tak peduli bila aku tidak menemukan apa-apa di seberang sana, aku
tak peduli… aku hanya tidak bisa terus menunggu tanpa mengetahui apakah aku
bakal berhasil atau gagal. Aku tidak boleh kalah oleh kekecewaan, apalagi
ketidak pastian. Aku harus terus melangkah. Dan tahukah kamu apa yang kutemukan
di balik selimut hujan yang tebal itu? Tahukah kamu?”
Aku menggeleng pelan. Aku tidak pernah tahu apa-apa, aku
terlalu sibuk dengan ketakutanku sendiri.
“Di ujung hujan itu aku menemukan seorang lelaki, dan di
tangannya tersemat bagiku sebentuk pelangi yang sangat indah, mungkin lebih
indah daripada pelangi pertama.”
Perempuan itu tersenyum. Senyum perempuan yang sedang jatuh
cinta. Tiba-tiba ia bukan lagi matahari merah berbentuk hati yang tepiannya
bergerigi, matahari yang membiarkan langit memilih menggenakan selimut
kelabunya dan tak mencoba memaksa menyeruakkan warna-warna ke atasnya.
Kutelan kekecewaanku dengan susah payah. Harapanku telah rata dengan tanah. Aku tahu, aku masih saja langit yang tersayat-sayat itu, tapi langit ini tidak lagi akan pernah memiliki senja yang sempurna di sebelah baratnya, sebab mataharinya telah pergi, menyongsong hujan.
Rabu, 16 Juli 2014
mamah
Sosok wanita, adalah sosok yang kuat. Yang rela berkorban
demi melihat orang yang disayangnya tersenyum bahagia. Aku menemukan sosok
berhati lembuut kedua setelah ibu, mamahnya. Mamah orang yang aku cintai. Entah
mengapa, aku merasa sangat dekat dengan beliau. Beliaupun adalah wanita kedua
yang sangat aku cintai setelah ibu. Kedekatan kami bukanlah kedekatan biasa
antara calon menantu dengan calon mertua. Sepertinya ada benang yang tak kasat
mata yang menghubungkan hatiku dengan beliau. Pernah, suatu malam aku
memutuskan untuk sholat lail. Disitu aku memohon agar dosaku, dosa orangtuaku,
dosa lelaki yang aku cintai, dan dosa orangtuanya diampuni oleh Allah. Lalu
keesokan paginya lelaki itu meneleponku, “dek, kamu dimana? Tadi mamah nyari
kamu” Aku sangat rindu pada beliau,
terlebih semenjak hubunganku dengan anaknya harus berhenti setahun lalu. Jujur,
aku sangat menyayanginya, tapi disisi lain aku tak bisa memaksanya untuk tetap
tinggal, jika dia sudah tak ingin ada disampingku. Sebagai seorang wanita, jelas
aku tak bisa dengan seenaknya bertamu kerumah lelaki meskipun lelaki itu adalah
orang yang paling aku cintai. Kendala itu yang menghalangiku bertemu mamahnya.
Apa yang bisa ku lakukan mah? Sementara mamah terus bertandang kedalam mimpiku?
Bagaimana keadaan mamah sekarang? Mamah sehat kan? Aku berharap Allah selalu
kasih mamah kesehatan. Aamiin ya mah. Mah… seandainya mamah tau blog aku, mamah
baca tulisan aku. Aku pengen ngomong mah, tapi mamah jangan nangis ya J (mah.. sejujurnya nova
kangen sama mamah. Kangen masak bareng mamah, nova kangen bantuin mamah
didapur, apa mamah juga kangen sama nova? Mah, seandainya kita bisa ketemu
lagi, nova pengen banget nangis dipelukan mamah, nova pengen dicium mamah lagi
kayak waktu itu. Hati nova sakit mah. Mamah pasti ngerasa kan? Makanya mamah
lebih belain nova daripada anak mamah sendiri. Nova gak nyalahin dia mah,
meskipun nova berkali-kali dikecewain dia. Nova pasti maafin dia mah, mamah
gausah khawatir sama nova ya :*. Nova ikhlas kalo nova harus nangis karena bertahan
mencintai anak mamah. Mamah… makasih ya, mamah udah sayang banget sama nova,
mamah udah anggep nova kayak anak mamah sendiri. Oh iya nova inget mah, mamah
kan pernah bilang “nova jaga diri baik-baik ya, maafin anak mamah, dia udah
banyak bikin kamu sakit. Mamah minta tolong, nova jagain dia ya. Dia anaknya
susah dikasih tau. Mamah minta, nova nasehatin dia kalo dia salah ya” terus
mamah cium nova, inget kan mah? Mah, kapan ya kita bisa ketemu lagi? Nova
sayang banget sama mamah, nova gak mau mamah sedih, nova gak mau mamah nangis,
nova gak mau ngecewain mamah. Mamah seandainya nova bisa jadi memantu mamah,
nova pengen banget ngerawat mamah, nanti kita bisa masak bareng, kita bisa main
bareng ditaman, kita bisa ngajar bareng, kita bisa belanja bareng, nova bisa
kasih cucu buat mamah. Mamah gak akan kesepian lagi nantinya. Semoga ya mah.
Semoga doa kita sama, semoga harapan kitapun sama aamiin ya rabbal’alamiin J
tulisan yang lari
Tuhan itu memang selalu adil, untuk kali ini kebahagiaan itu
datang menghampiri hidup tanpa diminta. Doa yang terus aku ulang dalam sujudku
akhirnya terkabulkan beserta bonusnya. Tetaplah seperti ini tuhan, aku bisa
menyentuh orang yang paling aku jaga hatinya dan orang yang menjaga hatiku.
Engkau telah memberikan kami 4 tahun untuk saling menjaga perasaan kami
masing-masing. Tidak ada kebahagiaan selain kami dapat Engkau pertemukan dengan
hati yang utuh tanpa ada sedikitpun luka yang dirasa menyakitkan. Meskipun ini
sulit tuhan! tapi kami yakin Engkau kelak akan menyatukan kami dengan nama
indahmu. Kumohon engkau tetap menjaganya melalui doa ini. Tak banyak yang bisa
kulakukan selain menyebut namanya dalam doa-doa terbaik. Tetap kuatkan hati
kami untuk setia menunggu hingga Engkau mengatakan “Ya, sudah saatnya”. Kami
akan berusaha menjadikan jarak ini sebagai penantian yang indah. Kami sadar
tuhan bahwa takkan pernah ada rasa nyaman dalam ruang penantian. Jadikanlah
tawar rasa cemburu yang kami rasa panas agar kami tetap memperindah sikap kami
untuk menjaga hati kami masing-masing. Aku bersyukur, mengapa Engkau
mempertemukanku dengan lelaki sepertinya Tuhan. lelaki lebat yang luar biasa
dan aku tak cukup bodoh untuk menyia-nyiakan kehadirannya.
apa itu perjodohan?
Tahun 2014 berbeda dengan era Siti Nurbaya. Pasti pikiran
kita sejalan saat saya menyebut Siti Nurbaya, yaps betul sekali! PERJODOHAN. Miris
2014 masih saja ada segelintir perjodohan dan lebih miris itu terjadi dalam
hidup saya! Ini bukan fiktif atau drama yang biasanya ada behind the screen.
Entah pikiran saya yang terlalu luas atau jalan pikir orangtua saya yang
terlalu etnis. Usia saya masih terlalu muda! 18 tahun! Bicara soal jodoh hey!
Itu terlalu jauh. seandainya orangtua saya bisa membaca tulisan ini dalam blog
saya atau setidaknya jadi Novaimer
(nama fans saya jika saya jadi superstar haha) pasti mereka berpikir 1001 kali
untuk menjodohkan saya. Daripada bicara tentang perjodohan saya yuk cuuuuuus
kita kulas tentang perjodohan
Perjodohan adalah berasal dari kata dasar jodoh atau arti
dari bahasa Yunaninya Cinta (haha ngarang nih Nova J). Jodoh adalah teman hidup,
partner kita membina rumah tangga. Pilih teman untuk sekedar bermain atau hang
out sih mudah banget guy’s tapi untuk jodoh dijamin rumitnya melebihi rumus
logaritma. Gak percaya? Coba aja. Pernikahan itu sakral, malah gak boleh buat
main-main. Nah… untuk manusia berusia muda kayak saya mending jauh-jauh deh
dari kata pernikahan, yang ditakutkan bukan bisa makan atau tidaknya tapi jiwa
muda kita ini loh belum terasah betul, istilahnya belum kenyang masa
bermainnya. Kalo dipaksain malah bikin runyam nih hidup nanti bisa-bisa umur 22
tahun kita udah bisa dapet gelar gaun ungu alias janda? OMG (with scream)
Menurut saya sih usia muda itu lebih baik digunakan untuk
mengejar cita-cita. Tapi banyak yang bilang kalo “setinggi-tingginya wanita itu
tetep saja tempatnya didapur” pepatah itu gak salah sob! Tapi coba deh bayangin
kalo kita punya bekal ilmu yang cukup gak menutup kemungkinan kita bakal jadi
koki kelas tinggi kan? (Hey gajinya gede loooh) koki kelas tinggi itu ibarat
kita bisa menjalankan dua tugas secara bersamaan, bukankah itu jauh lebih baik?
Mantan saya pernah bicara kalau “ Hidup yang sesungguhnya baru akan dimulai
setelah masa remaja itu lewat” saya bisa menangkap maksud dari kata-kata itu,
maksudnya persiapkan cita-citamu dari muda untuk masa depanmu. Hidup ini bukan
melulu soal cinta, gak harus tentang pacaran atau menguatirkan siapa jodoh kita
nantinya, memaknai hidup sepenuhnya adalah ketika kita bermanfaat untuk orang
di sekeliling kita. Caranya gimana? Bahagiakan mereka dengan cara kalian, untuk
kalian yang pengen jadi pengusaha kalian boleh membagikan sedikit income kalian
untuk mereka, untuk kalian yang pengen jadi guru kalian bisa mengajari mereka
yang belum punya kesempatan untuk merasakan duduk di bangku sekolah tanpa
mengeluarkan biaya malah kalian dapet pahala yang gak akan pernah putus sampe
kalian tinggal namanya saja. Itu sebagian kecil dari cita-cita. Pasti banyak yang
mikir, “kan kuliah itu bisa sambil nikah dan bisa ngejer cita-cita itu”. Sayang
sekali guy’s untuk manusia yang mempunyai pikiran seperti saya, saya tidak bisa
untuk membagi fokus saya dalam hal cita-cita dan rumah tangga. Saya terlalu
mengkuatirkan ketidakmaksimalan saya menjalankan amanah tersebut.
catatan buat kamu
Seandainya cinta itu bisa memilih, harusnya kita tak perlu
bertemu, harusnya aku tak perlu mencintaimu. Mencintaimu, sama saja seperti aku
membiarkan ragaku terbunuh secara perlahan. Rasa sakitnya sangat terasa disini
mas. Mas pitong, apa kamu tau bagaimana rasa sakit ini? Apa aku perlu
menyebutkan beberapa hal fatal yang kamu lakukan terhadapku? Perlu mas? Aku
rasa tidak! Menulis kesalahanmu itu bagai menguak luka lama! Lalu apa yang bisa
aku lakukan agar kamu paham? Bersabar? Aku sudah bosan untuk itu mas! Menunggu
Allah membukakan pintu hati kamu? Sampai kapan mas? Sampai aku muak mendengar
celotehan manusia tentang bagaimana indahnya penghianatan kamu? Aku tak perlu
bertanya kenapa kamu tega memperlakukanku seperti ini, bukan kamu yang terlalu pintar
untuk membohongiku tapi aku, aku yang terlalu BODOH, aku yang terlalu
mempercayai mulut manismu, aku yang terlalu menutup telinga tentang
keburukanmu, aku yang terus menyakinkan diriku jika yang dikatakan oranglain
tentangmu itu adalah salah! sikap kamu itu membuatku begitu sakit! Sangat
menyakitkan mas!
Langganan:
Postingan (Atom)