“Mencintaimu mungkin membuat air mataku tak mudah jatuh”
fikirku saat kupandangi sketsa wajahnya dalam buku harianku. Kejadian setahun
lalu saat kecelakaan merenggut pita suaraku, membuatku merasa berdosa
mencintainya. Aku hanya seorang gadis bisu yang hamper putus asa mempertahankan
cintaku untuknya. Ia menguatkan aku, meyakinkan aku bahwa aku masih teristimewa
dalam hidupnya. Aku hanya bisa bersyukur tuhan mempertemukan aku dengan seorang
lelaki setulus hatinya. Dua tahun yang lalu saat semua hidupku masih terasa
sempurna, dirimu hadir menawarkan sejuta harapan yang menunggu untuk kita
jemput di masa depan yang masih dalam dekapan sang waktu. Hatiku mengikuti apa
yang sesungguhnya engkau harapkan dibalik kebaikannya padaku.
Bulan
pertama, cinta kita bersemi seperti rumput- rumput kecil yang sejuk tertetesi
embun. Ia terus tumbuh menantang sang waktu. Berlari sepihak jarum yang
menempel di dinding kamarku. Tak terasa ku dapati cinta itu semakin tumbuh
bersama goresan kisah yang ku tulis dalam lembaran kitab- kitab yang telah lama
usang. Teringat saat kau masih memperhatikanku. Setiap pertemuan kau selalu
menggodaku, memanjakanku, bahkan kau masih menganggapku anak kecil yah… memang
seperti itulah aku.
Pertengkaran tak bisa ku elak saat
pemikiran kita tak sejalan, dia hanya bungkam seolah tak peduli dan lebih
menyibukan dirinya bermain game daripada harus berdebat denganku. Aku mengerti
itu dan diamku bukan hanya untuk menunggu tapi itu sebuah usahaku dalam
pendewasaan memecahkan perang emosi antara dia dan aku. Ku pilih membawa ragaku
ke pantai lepas menikmati deburan ombak dibatas senja. Ku pandangi selaksa
pasir dan air laut yang tergenang di jagat raya-Nya, membuatku merasa
kesendirian ini sangat menyakitkan. Mentari senja yang terkalahkan oleh petang
mulai tenggelam bersama emosi yang kian larut terbawa deburan ombak lalu hilang
bersama kekecewaan. Sesekali kulihat ponselku tapi tak ada satu pesanpun yang
mengabarkan dirinya masih memperdulikanku. Saat itu airmataku mulai terjatuh,
ku usap kasar hingga emosi dalam dadaku menguak, menguasai pikiranku. Ku
kendarai motorku diatas rasa amarahku padanya. tak terasa tubuhku terpental
saat kendaraan di depanku menghentikan lajunya seketika.
Aku terbangun dalam ruangan yang
tertata seperti rumah sakit, yah… itu memang rumah sakit tepatnya ruang
ICU. Kulihat beberapa wajah disana yang
masih ku kenal, ayah, ibu dan izhar kekasihku. Ia mendekatiku dan mengusap-
usap rambutku. Aku ingin sekali bertanya padanya “mengapa ia tak sedikitpun
memperdulikanku??” namun tenggorokanku terasa sakit, hanya mulutku yang terbuka
tapi tak ada satu katapun yang terdengar olehku. Izhar menyuruhku diam untuk tidak
berbicara padanya. Matanya memandangiku dan seolah ia ingin menitihkan airmata,
entah pertanda apa airmatanya akupun tak mengerti
Tak kulihat ayah dan ibu ternyata
mereka sedang membicarakan keadaanku dengan dokter, ku dengar sebuah kalimat
dokter yang cukup membuatku benar- benar merasa terpukul “ibu, kecelakaan yang
menimpa anak ibu membuat pita suaranya rusak. Tim medis sudah berusaha
semaksimal mungkin tapi tuhan berkata lain”. Seketika tubuhku lemas seperti
tulang- tulang yang ada dalam tubuhku telepas. Harapan yang telah ku rangkai
dalam hiduppun pupus tapi kesabaran izhar membuatku ikhlas menerima kenyataan
ini.
Setelah kepulanganku dari rumah
sakit, tak ada yang berubah dari diri izhar kesibukan dia dengan dunia game
semakin menjadi – jadi. Aku berusaha mengerti dunianya, mengerti keinginannya
meski hatiku terluka.
Satu ketika izhar mengajakku
kepantai, sebenarnya aku marah karena perubahan sikapnya yang mulai menipiskan
kesabaranku. Disela- sela kebersamaan kami tiba-tiba ponsel izhar berbunyi. Aku
tak tau apa yang sedang izhar bicarakan dengan seseorang diseberang sana. Sesaat perbincangan
izhar dengan seseorang itu kemudian izhar berpamitan untuk pulang lebih dulu
dan meninggalkanku dalam batas senja. Sejujurnya aku tak ingin izhar pergi tapi
apa gunanya?? Aku hanya gadis bisu yang tak bisa berkata- kata, aku hanya
meniitihkan airmata kekecewaan dipembelakangan izhar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar