Jumat, 10 Januari 2014

Penantian panjang





Arti cinta memanglah mengandung berjuta sumber daya tentang sebuah kisah yang merona merah muda, aku disini ingin mengulas tentang apa itu cinta??

Apakah agamaku membenci “cinta”?? lalu haramkah umatnya sepertiku yang merasakan getarang – getaran yang mungkin bisa ku sebut sebuah cinta?? Dan yah aku yakini saja rasa itu. Mungkin akan menuntunku pada sebuah lentera yang menyinari hatiku.
dan yang terpenting bagiku, islam adalah agama yang fitrah. Insyallah…

Cinta… kata yang mungkin kini sedang kurasakan, getarannya begitu kuat hingga aku tak bisa mengendalikan pikiranku. Emosi yang labil selalu mengintai ketika keyakinanku mulai berani melangkah dalam cintamu. Sang ikhwan yang bernama denis (sebut saja begitu) kini menghiasi kanvas hidupku yang lama tak berisikan kembali keceriaan tentang bagaimana arti cinta. Banyak hari yang kulalui bersama sang ikhwan tersebut. Menghabiskan senja bersama dalam kebahagiaan. Berpetualang menjelajahi bagaimana isi dunia terlebih mensyukuri keAgungan-Nya akan waktu yang mempertemukan kami. Pertemuan kami bukan untuk saling menunggu, namun untuk melengkapi kekurangan pada diri kami. Suatu ketika satu masalah muncul dalam eratnya hubungan kami. Vina (sebut saja begitu) mantan kekasih sang ikhwan mencaci maki diriku, yah… mungkin benar itu salahku karena awal pertemuan aku dengan sang ikhwan, sang ikhwan masih memiliki wanita lain namun sang ikhwan meninggalkannya karena keoverprotectivean wanita itu sendiri, bukan karena kehadiranku. Gara- gara hobiku yang suka nulis, aku mencoba menulis cerpenku dengan sang ikhwan. Membuat para tokoh- tokoh didalamnya kemudian aku mencantumkan “Vina Tedy Couple” nama samaran untuk Vina. Mungkin kalimatku terlalu membuatnya gerah atau bagaimana tapi aku mencoba jujur dalam tulisanku itu. Lalu vinapun mengirim CHAT di facebookku
“kok bawa-bawa nama saya dalam cerpen anda?”
“kalau tidak suka bisa saya hapus”
“cerpennya keren. Keren juga kebusukan kaliannya”
“maaf”
“hah.. maaf? Gampang banget sih lu”
“saya sudah berusaha melupakan mantan pacar kamu, tapi takdir berkata lain”
“tapi saya sakit hati sama dia”
“Itu karena  kesalahan mba vina sendiri”
“kesalahan yang bagaimana?”
“keoverprotectivan mba vina yang membuat dia ga nyaman”
“tapi dia yang ngebuat saya ga nyaman, asal kamu tau sebelum saya putus satu bulan saya ga ketemu sama dia, itu semua GARA_ GARA KAMU!!!”
“terimakasih J
“heh ngerasa bersalah ga sih kamu ngerebut cowo orang”
“ngerasa bersalah?? Oh tentu”
“terus kenapa dilakuin”
“karena dia lebih memilih saya, so why not?
“sakit hati baru tau rasa”
‘saya yakin dia tidak begitu”

Setelah kejadian itu hubunganku menjadi semakin kuat, setiap weekend dia meluangkan waktunya untuk menemuiku dirumah, atau hanya sekedar menjelajahi kota cirebon dan kuningan. Sampai suatu ketika aku terpisah dengannya saat aku melaksanakan prakerin (sebuah praktek sekolah yang turun langsung dalam dunia kerja). Cirebon- subang, jarang yang memisahkan hati kami namun keyakinan dan kekuatan cinta kami mampu menghalang jarak meski beribu-ribu mil aku yakin kami mampu.

Malam- malam jauh darinya rindukupun mulai menggelayuti lamunanku, hanya terbayang namanya, sikapnya, kesukaannya tentang Point Blank, dan semua yang berhubungan dengannya aku pikirkan. Selama itu kami bertahan dengan kondisi seperti ini. Dia tak pernah mematahkan semangatku, apalagi melarangku melakukan hal- hal yang aku sukai itulah yang aku suka darinya. Dimataku dia begitu bijak, dewasa namun tak jarang dia selalu over protective dengan kesehatanku yang akhir- akhir ini sering terganggu. Aku tau itu adalah salah satu bentuk kepeduliannya tentang diriku. 80 hari kami terpisah oleh jarak yang menghadirkan sebuah kerinduan pekat dalam hati, dan tak terasa kami telah melewati 366 hari bersama (anniversary). Semua tentangnya, tentang kesukaannya main game, menjahili siapapun temannya, jajan bareng sama aku, makan baso, makan mie ayam, nasi goreng depan masjid tejaswar, sampai ngopi bareng di warung asrama haji. Yah… itulah kebiasaan kami melewati waktu bersama. Aku mengenallya lebih dari aku mengenal diriku sendiri, dan terkadang kalau dia marah dengan sikapku yang konyol. Akupun berusaha besikap gila dan mencairkan suasana. Sulit memang mengubah emosinya menjadi canda tawa namun itu tantangan buatku. Kebahagiaan kami yang ku rasa sudah sangat lengkap tapi sekali lagi takdir tak sejalan dengan rencana kami, saat dia tahu akan ada pembukaan beasiswa ke rusia, diapun mendaftarkan diri dan akhirnya dia diterima disalah satu  Universitas ternama di negeri Es itu. Ujian terberat adalah saat menerima bahwa sang kekasih tak lagi ada didepan mata. Kuraba hatiku, apakah aku sanggup menantinya pulang? Akupun terdiam. Lalu terbentuklah sungai kecil di kedua pipiku. Aku tersayat menerima kenyataan ini namun aku tegarkan hati untuk mengikhlaskan dirimu pergi dalam sebuah pencarian jati diri.

Delapan tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu kepastian kapan dia akan pulang dan menemuiku? Selama delapan tahun itu aku setia menantinya, menjaga cinta yang masih ku bingkiskan untuk seorang ikhwan seperti dirinya. Setelah delapan tahun berlalu sang ikhwanpun mengirimiku sebuah E-mail

“assalamu’alaikum calon makmumku. Bagaimana kabarmu? Aku pulang ke Indonesia 2 minggu lagi.”
“wa’alaikumsalam, baik. Kamu sendiri bagaimana? Lulus kuliahnya?” jawabku
“alhamdulillah baik, iya lulus. Apa kau masih setia menunggu kepulanganku?”
“syukurlah, iya tentu hanya engkau yang membuatku seyakin ini”
“alhamdulillah, nanti kalau aku sudah sampai ke rumah aku akan menemuimu”

Dua minggupun berlalu setelah perbincangan itu dan kamipun bertemu, banyak yang berubah darinya. Dulu dia yang ku kenal semasa SMA adalah seorang lelaki remaja yang masih sedikit mempunyai rasa tanggung jawab namun setelah kepulangannya dari rusia. Dia menjadi lebih stabil, lebih bijaksana. Kami meluncur kesebuah tempat saat pertama kali dia mengajakku nge- date, pertama kali dia menciumku semasa SMA dulu. Angin yang pada saat itu seolah mendukung kami, membuat suasana menjadi sangat tenang ditemani suara gemricik air sungai. Kami mulai menceritakan tentang pengalaman kami sewaktu kuliah, lalu sesaat kami terdiam. Entah apa yang membuat kami berdua terdiam kemudian sang ikhwanpun memejamkan mata, alis mataku mengerut dan seakan dia mengerti apa yang aku maksud. Lalu diapun menjawab dengan mata terpejam, “ga apa-apa kok beb”. Bicara tanpa kata, yah fikirku saat itu. Kemudian sang ikhwan mendekatkan posisi duduknyadenganku, dan lebih dekat lagi. Aku hanya terunduk mali dengan muka yang memerah seperti kepiting rebus sang ikhwanpun menggenggam jemariku

“aku, tau kamu sayang sama aku. Dan apakah kau juga tau aku mencintaimu?”
“aku tau.”
“apa kamu sudah yakin denganku, hingga kamu rela menunggu kepulanganku?”
“yah, ainul yakin itu yang aku rasakan.”


Di menatapku dan memegang erat jemariku. Aku tak berani menatap matanya yang berkesungguhan itu. Akupun kembali tertunduk dan berusaha menyembinyikan rasa grogiku di depan matanya

”sayang, lihat aku! Ada hal yang ingin ku tanyakan padamu”
“apa?”
“apakah kau mau jadi tulang rusuk kiriku, menjadi makmumku, sekaligus menjadi ibu dari anak- anakku kelak”

aku terdiam, aku bingung dengan jawabanku namun aku yakin dan aku meraba hatiku kembali namun tetaplah sama rasa cintaku padanya tak pernah berubah sejak awal sang ikhwan menginginkanku menjadi wanitanya…..

“iya aku mau”

Dengan spontan sang ikhwanpun memeluku dan membisikan 1 kalimat di telingaku

“aku takkan membiarkanmu kecewa”

Itu akhir dari sebuah penantianku, hasil dari kesabaranku dalam penantian cita sejati…. ^_____^






Original Created by Nova patria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar