Arti cinta memanglah mengandung berjuta sumber daya tentang
sebuah kisah yang merona merah muda, aku disini ingin mengulas tentang apa itu
cinta??
Apakah agamaku membenci “cinta”?? lalu haramkah umatnya
sepertiku yang merasakan getarang – getaran yang mungkin bisa ku sebut sebuah
cinta?? Dan yah aku yakini saja rasa itu. Mungkin akan menuntunku pada sebuah
lentera yang menyinari hatiku.
dan yang terpenting bagiku, islam adalah agama yang fitrah. Insyallah…
dan yang terpenting bagiku, islam adalah agama yang fitrah. Insyallah…
Cinta… kata yang mungkin kini sedang kurasakan, getarannya
begitu kuat hingga aku tak bisa mengendalikan pikiranku. Emosi yang labil
selalu mengintai ketika keyakinanku mulai berani melangkah dalam cintamu. Sang
ikhwan yang bernama denis (sebut saja begitu) kini menghiasi kanvas hidupku
yang lama tak berisikan kembali keceriaan tentang bagaimana arti cinta. Banyak
hari yang kulalui bersama sang ikhwan tersebut. Menghabiskan senja bersama
dalam kebahagiaan. Berpetualang menjelajahi bagaimana isi dunia terlebih
mensyukuri keAgungan-Nya akan waktu yang mempertemukan kami. Pertemuan kami
bukan untuk saling menunggu, namun untuk melengkapi kekurangan pada diri kami.
Suatu ketika satu masalah muncul dalam eratnya hubungan kami. Vina (sebut saja
begitu) mantan kekasih sang ikhwan mencaci maki diriku, yah… mungkin benar itu
salahku karena awal pertemuan aku dengan sang ikhwan, sang ikhwan masih
memiliki wanita lain namun sang ikhwan meninggalkannya karena keoverprotectivean
wanita itu sendiri, bukan karena kehadiranku. Gara- gara hobiku yang suka
nulis, aku mencoba menulis cerpenku dengan sang ikhwan. Membuat para tokoh-
tokoh didalamnya kemudian aku mencantumkan “Vina Tedy Couple” nama samaran
untuk Vina. Mungkin kalimatku terlalu membuatnya gerah atau bagaimana tapi aku
mencoba jujur dalam tulisanku itu. Lalu vinapun mengirim CHAT di facebookku
“kok bawa-bawa nama saya dalam cerpen anda?”
“kalau tidak suka bisa saya hapus”
“cerpennya keren. Keren juga kebusukan kaliannya”
“maaf”
“hah.. maaf? Gampang banget sih lu”
“saya sudah berusaha melupakan mantan pacar kamu, tapi
takdir berkata lain”
“tapi saya sakit hati sama dia”
“Itu karena kesalahan
mba vina sendiri”
“kesalahan yang bagaimana?”
“keoverprotectivan mba vina yang membuat dia ga nyaman”
“tapi dia yang ngebuat saya ga nyaman, asal kamu tau sebelum
saya putus satu bulan saya ga ketemu sama dia, itu semua GARA_ GARA KAMU!!!”
“terimakasih J”
“heh ngerasa bersalah ga sih kamu ngerebut cowo orang”
“ngerasa bersalah?? Oh tentu”
“terus kenapa dilakuin”
“karena dia lebih memilih saya, so why not?
“sakit hati baru tau rasa”
‘saya yakin dia tidak begitu”
Setelah kejadian itu hubunganku menjadi semakin kuat, setiap
weekend dia meluangkan waktunya untuk menemuiku dirumah, atau hanya sekedar
menjelajahi kota cirebon dan kuningan. Sampai suatu ketika aku
terpisah dengannya saat aku melaksanakan prakerin (sebuah praktek sekolah yang
turun langsung dalam dunia kerja). Cirebon-
subang, jarang yang memisahkan hati kami namun keyakinan dan kekuatan cinta
kami mampu menghalang jarak meski beribu-ribu mil aku yakin kami mampu.
Malam- malam jauh darinya rindukupun mulai menggelayuti
lamunanku, hanya terbayang namanya, sikapnya, kesukaannya tentang Point Blank,
dan semua yang berhubungan dengannya aku pikirkan. Selama itu kami bertahan
dengan kondisi seperti ini. Dia tak pernah mematahkan semangatku, apalagi
melarangku melakukan hal- hal yang aku sukai itulah yang aku suka darinya.
Dimataku dia begitu bijak, dewasa namun tak jarang dia selalu over protective
dengan kesehatanku yang akhir- akhir ini sering terganggu. Aku tau itu adalah
salah satu bentuk kepeduliannya tentang diriku. 80 hari kami terpisah oleh
jarak yang menghadirkan sebuah kerinduan pekat dalam hati, dan tak terasa kami
telah melewati 366 hari bersama (anniversary). Semua tentangnya, tentang kesukaannya
main game, menjahili siapapun temannya, jajan bareng sama aku, makan baso,
makan mie ayam, nasi goreng depan masjid tejaswar, sampai ngopi bareng di
warung asrama haji. Yah… itulah kebiasaan kami melewati waktu bersama. Aku
mengenallya lebih dari aku mengenal diriku sendiri, dan terkadang kalau dia
marah dengan sikapku yang konyol. Akupun berusaha besikap gila dan mencairkan
suasana. Sulit memang mengubah emosinya menjadi canda tawa namun itu tantangan
buatku. Kebahagiaan kami yang ku rasa sudah sangat lengkap tapi sekali lagi
takdir tak sejalan dengan rencana kami, saat dia tahu akan ada pembukaan
beasiswa ke rusia, diapun mendaftarkan diri dan akhirnya dia diterima disalah
satu Universitas ternama di negeri Es
itu. Ujian terberat adalah saat menerima bahwa sang kekasih tak lagi ada
didepan mata. Kuraba hatiku, apakah aku sanggup menantinya pulang? Akupun
terdiam. Lalu terbentuklah sungai kecil di kedua pipiku. Aku tersayat menerima
kenyataan ini namun aku tegarkan hati untuk mengikhlaskan dirimu pergi dalam
sebuah pencarian jati diri.
Delapan tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu
kepastian kapan dia akan pulang dan menemuiku? Selama delapan tahun itu aku
setia menantinya, menjaga cinta yang masih ku bingkiskan untuk seorang ikhwan
seperti dirinya. Setelah delapan tahun berlalu sang ikhwanpun mengirimiku
sebuah E-mail
“assalamu’alaikum calon makmumku. Bagaimana kabarmu? Aku
pulang ke Indonesia
2 minggu lagi.”
“wa’alaikumsalam, baik. Kamu sendiri bagaimana? Lulus
kuliahnya?” jawabku
“alhamdulillah baik, iya lulus. Apa kau masih setia menunggu
kepulanganku?”
“syukurlah, iya tentu hanya engkau yang membuatku seyakin
ini”
“alhamdulillah, nanti kalau aku sudah sampai ke rumah aku
akan menemuimu”
Dua minggupun berlalu setelah perbincangan itu dan kamipun
bertemu, banyak yang berubah darinya. Dulu dia yang ku kenal semasa SMA adalah
seorang lelaki remaja yang masih sedikit mempunyai rasa tanggung jawab namun
setelah kepulangannya dari rusia. Dia menjadi lebih stabil, lebih bijaksana.
Kami meluncur kesebuah tempat saat pertama kali dia mengajakku nge- date,
pertama kali dia menciumku semasa SMA dulu. Angin yang pada saat itu seolah
mendukung kami, membuat suasana menjadi sangat tenang ditemani suara gemricik
air sungai. Kami mulai menceritakan tentang pengalaman kami sewaktu kuliah,
lalu sesaat kami terdiam. Entah apa yang membuat kami berdua terdiam kemudian
sang ikhwanpun memejamkan mata, alis mataku mengerut dan seakan dia mengerti
apa yang aku maksud. Lalu diapun menjawab dengan mata terpejam, “ga apa-apa kok
beb”. Bicara tanpa kata, yah fikirku saat itu. Kemudian sang ikhwan mendekatkan
posisi duduknyadenganku, dan lebih dekat lagi. Aku hanya terunduk mali dengan
muka yang memerah seperti kepiting rebus sang ikhwanpun menggenggam jemariku
“aku, tau kamu sayang sama aku. Dan apakah kau juga tau aku
mencintaimu?”
“aku tau.”
“apa kamu sudah yakin denganku, hingga kamu rela menunggu
kepulanganku?”
“yah, ainul yakin itu yang aku rasakan.”
Di menatapku dan memegang erat jemariku. Aku tak berani
menatap matanya yang berkesungguhan itu. Akupun kembali tertunduk dan berusaha
menyembinyikan rasa grogiku di depan matanya
”sayang, lihat aku! Ada hal yang ingin ku tanyakan padamu”
”sayang, lihat aku! Ada hal yang ingin ku tanyakan padamu”
“apa?”
“apakah kau mau jadi tulang rusuk kiriku, menjadi makmumku,
sekaligus menjadi ibu dari anak- anakku kelak”
aku terdiam, aku bingung dengan jawabanku namun aku yakin dan aku meraba hatiku kembali namun tetaplah sama rasa cintaku padanya tak pernah berubah sejak awal sang ikhwan menginginkanku menjadi wanitanya…..
“iya aku mau”
Dengan spontan sang ikhwanpun memeluku dan membisikan 1
kalimat di telingaku
“aku takkan membiarkanmu kecewa”
Itu akhir dari sebuah penantianku, hasil dari kesabaranku
dalam penantian cita sejati…. ^_____^
Original Created by Nova patria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar